“Tradisi PASOLA menggabungkan keahlian menunggang kuda dan
melempar lembing yang diadakan untuk bersyukur atas hasil panen menyambut tahun
baru dalam kepercayaan MARAPU“
PASOLA
sendiri berasal dari kata "sola" atau "hola", yang berarti sejenis
lembing
kayu
yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda
yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah
mendapat imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi PERMAINAN. Jadi pasola atau pahola berarti permainan
ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu
kencang antara dua kelompok yang berlawanan. Pasola merupakan bagian dari serangkaian upacara tradisional
yang dilakukan oleh orang Sumba
yang masih menganut agama
asli yang disebut MARAPU (agama lokal masyarakat sumba). Permainan pasola diadakan pada empat wilayah
di kabupaten Sumba Barat. Keempat wilayah tersebut antara lain KODI,
LAMBOYA, WANOKAKA, dan GAURA. Pelaksanaan pasola di keempat wilayah ini
dilakukan secara bergiliran, yaitu antara bulan Februari hingga Maret setiap
tahunnya.
Menurut
ceritanya, pasola berawal dari seorang janda cantik bernama Rabu Kaba di Kampung Waiwuang. Rabu
Kaba mempunyai seorang suami yang bernama Umbu Dulla, salah satu pemimpin di
kampung Waiwuang. Selain Umbu
Dulla, ada dua orang pemimpin lainnya yang bernama Ngongo Tau Masusu dan Yagi
Waikareri. Suatu saat, ketiga pemimpin ini memberitahu warga Waiwuang bahwa
mereka akan melaut. Tapi, mereka malah pergi ke selatan pantai Sumba
Timur untuk mengambil padi. Warga
menanti tiga orang pemimpin tersebut dalam waktu yang lama, namun mereka belum
juga kembali ke kampungnya. Warga menyangka ketiga pemimpin mereka telah
meninggal, sehingga warga pun mengadakan upacara perkabungan. Dalam kedukaan itu, janda cantik dari almarhum Umbu Dula,
Rabu Kaba terjerat asmara dengan Teda Gaiparona yang berasal dari Kodi.
Namun keluarga dari Rabu Kaba dan Teda Gaiparona tidak menyetujui hubungan mereka, sehingga
mereka mengadakan kawin lari.
Teda Gaiparona membawa janda tersebut ke kampung halamannya. Beberapa waktu
berselang, ketiga pemimpin warga Waiwuang (Ngongo Tau Masusu, Yagi Waikareri
dan Umbu Dula) yang sebelumnya dianggap telah meninggal, muncul kembali di
kampung halamannya. Umbu Dula mencari isterinya yang telah dibawa oleh Teda
Gaiparona. Walaupun berhasil ditemukan warga Waiwuang, Rabu Kaba yang telah mencintai
Teda Gaiparona tidak ingin kembali. Kemudian Rabu Kaba meminta pertanggung jawaban
Teda Gaiparona untuk mengganti belis yang diterima dari keluarga Umbu Dulla. ( Belis merupakan
banyaknya nilai penghargaan pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai
calon isterinya), seperti pemberian hewan berupa Kuda, Kerbau, dan
barang-barang berharga lainnya. Teda Gaiparona lalu menyanggupinya dan membayar
belis pengganti. Setelah seluruh belis dilunasi diadakanlah upacara perkawinan
pasangan Rabu Kaba dengan Teda Gaiparona. Pada akhir pesta pernikahan, keluarga
Umbu Dulla berpesan kepada warga Waiwuang agar mengadakan pesta nyale dalam
wujud pasola untuk melupakan kesedihan mereka karena kehilangan janda cantik,
Rabu Kaba.
“Tradisi NYALE merupakan puncak dari segala kegiatan untuk
memulai pasola ”
Pasola
diawali dengan pelaksanaan adat nyale. Adat nyale adalah salah satu upacara rasa syukur atas
anugerah yang didapatkan, yang ditandai dengan datangnya musim panen dan cacing laut yang melimpah di pinggir pantai. Adat tersebut dilaksanakan pada waktu bulan
purnama dan cacing-cacing laut (dalam
bahasa setempat disebut NYALE) keluar ke tepi pantai.
Para RATO (pemuka suku) akan
memprediksi saat nyale keluar pada pagi hari, setelah hari mulai terang.
Setelah nyale pertama didapat, nyale dibawa ke para Rato untuk dibuktikan
kebenarannya dan diteliti bentuk serta warnanya. Bila nyale tersebut gemuk,
sehat, dan berwarna-warni, pertanda tahun tersebut akan mendapatkan kebaikan
dan panen yang berhasil. Sebaliknya, bila nyale kurus dan rapuh, akan
didapatkan malapetaka ( Hasil Panen yang sedikit atau gagal Panen). Setelah itu
penangkapan nyale baru boleh dilakukan oleh masyarakat. Tanpa mendapatkan
nyale, Pasola tidak dapat dilaksanakan. Pasola dilaksanakan di bentangan padang
luas, disaksikan oleh segenap warga dari kedua kelompok yang bertanding, masyarakat umum, dan wisatawan asing maupun lokal. Setiap kelompok terdiri
atas pemuda bersenjatakan tombak
yang dibuat dari kayu berujung tumpul. Walaupun berujung tumpul, permainan ini
dapat memakan korban
jiwa. Kalau ada korban dalam pasola, menurut kepercayaan Marapu, korban
tersebut mendapat hukuman dari para DEWA karena telah telah melakukan suatu pelanggaran atau
kesalahan. Dalam permainan pasola, penonton dapat melihat secara langsung dua
kelompok kesatria sumba yang
sedang berhadap-hadapan, kemudian memacu kuda secara lincah sambil melesetkan
lembing ke arah lawan. Selain itu, para peserta pasola ini juga sangat tangkas
menghindari terjangan lembing yang dilempar oleh lawan. Derap kaki kuda yang
menggemuruh di tanah lapang, suara ringkikan kuda, dan teriakan garang
penunggangnya menjadi musik
alami yang mengiringi permainan ini. Pekikan para penonton perempuan yang menyemangati para peserta pasola, menambah suasana
menjadi tegang dan menantang. Pada saat pelaksanaan pasola, darah yang tercucur dianggap berkhasiat untuk kesuburan tanah dan kesuksesan panen. Apabila terjadi kematian dalam
permainan pasola, maka hal itu menandakan sebelumnya telah terjadi pelanggaran
norma adat yang dilakukan oleh warga pada tempat pelaksanaan pasola.
Pasola tidak sekadar menjadi bentuk keramaian,
tetapi menjadi salah satu bentuk pengabdian dan aklamasi ketaatan kepada sang leluhur.
Pasola merupakan kultur religius yang
mengungkapkan inti religiositas agama Marapu. Pasola
menjadi perekat jalinan persaudaraan antara dua
kelompok yang turut dalam pasola dan bagi masyarakat umum. Pasola menggambarkan
rasa syukur dan ekspresi kegembiraan masyarakat setempat, karena hasil panen
yang melimpah. Pasola dapat dijadikan tonggak kemajuan PARIWISATA SUMBA, karena
atraksi budaya ini sudah diketahui banyak wisatawan mancanegara. Hal ini
terlihat dalam setiap acara pasola selalu ada turis asing yang datang. Warisan
budaya ini merupakan aset untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.
Sumber :
http://id.wikipedia.org
No comments:
Post a Comment